Rabu, 07 Desember 2011

Persaingan Bisnis Picu Media Abaikan Etika


JAKARTA - Ketatnya persaingan di bisnis memungkinkan para pekerja media melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran etika jurnalistik.

Menurut Pakar Journalism Studies dari Universitas Indonesia Awang Ruswandi, di tengah tajamnya persaingan usaha, etika jurnalistik tetap harus dijunjung tinggi oleh media apa pun. Tapi memang (pelanggaran etika) tidak aneh karena di negara besar seperti Amerika Serikat pun ada skandal," ungkap Awang kepada okezone, Jumat (9/3/2010).

Dia menceritakan kasus wartawan di New York, terkait perang Irak. Wartawan tersebut ditugaskan dalam peliputan ke Irak. Namun ternyata dia tidak meliput ke lapangan, justru hanya sampai ke sebuah hotel lalu mebuat berita fiktif.

Kasus hampir sama juga pernah menimpa seorang wartawan dari Jawa Pos yang melakukan wawancara fiktik. Karena terbukti, akibatnya wartawan tersebut dipecat. Dari kasus tersebut, kata Awang, dapat diambil pelajaran berharga. "Artinya, karena desakan persaingan bisnis dan tuntutan deadline, di mana pun pelanggaran etika jurnalistrik bisa mungkin terjadi," tandasnya.

Media massa baik kecil atau besar akan mudah tergelincir dari nilai-nilai tersebut yang semestinya harus menjadi acuan. "Kasus kecilnya, asas praduka tak bersalah juga berlaku di pratik jurnalistik, tapi terkadang diabaikan karena tuntutan bisnis dan deadline," papar Awang.

Sekadar diketahui, praktik media kembali menjadi sorotan setelah Mabes Polri mengadukan seorang presenter TVOne ke Dewan Pers. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Edward Aritonang menjelaskan, Indy diduga merekayasa sang narasumber tersebut agar mengaku sebagai markus. Indy mewawancarai Andris Ronaldi, sang markus, pada 18 Maret 2010.

Dalam wawancara tersebut, Andris mengaku sudah 12 tahun menjadi markus di Mabes Polri.
(ram)

Jumat, 14 Oktober 2011

Etika Bisnis Ciptakan Tatanan Usaha Lebih Baik

Yogyakarta (ANTARA News) - Manajemen dan kemampuan wirausaha yang dilandasi etika bisnis diharapkan mampu menciptakan tatanan bisnis nasional yang lebih baik, kata Direktur Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Heru Kurnianto Tjahjono.

"Etika bisnis merupakan sebuah nilai yang terinternalisasi dalam diri seorang pebisnis. Jika kepribadian seorang pebisnis telah bagus, maka bisnis itu juga akan bagus dan harmoni," katanya di Yogyakarta, Selasa, sehubungan dengan kerja sama Magister Manajemen UMY dan Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA) BPC DIY.

Contohnya, nilai kejujuran yang ada dalam diri seorang pebisnis. Etika yang terinternalisasi dalam diri seseorang jauh lebih baik daripada aturan-aturan yang dipaksakan.

"Begitu pula dalam berbisnis, pebisnis yang jujur lebih baik daripada pebisnis yang dipaksa jujur. Oleh karena itu, penyeimbangan dimensi teori dan praktik dalam pembelajaran ilmu manajemen merupakan hal yang sangat krusial," katanya.

Menurut dia, hal itu dapat meningkatkan kemampuan melakukan inovasi dan pengambilan keputusan berbasis pengetahuan dan keterampilan bisnis yang unggul dan dilandasi nilai-nilai etika.

Selain itu, juga perlu implementasi program-program kewirausahaan terapan yang terpadu. Kegiatan tersebut dirancang untuk mensinergikan antara teori dan praktik dalam sebuah aksi nyata.

Ia mengatakan, program tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas akademik dan membangun keunggulan para praktisi bisnis khususnya mahasiswa Magister Manajemen UMY.

"Dalam membangun etika dalam diri mereka, jika berhasil akan membawa dampak harmoni dan teratur bagi lingkungan bisnis itu sendiri," katanya.

Ketua AMA BPC DIY Fransisca Diwati mengatakan, etika merupakan hal yang penting dalam bisnis dan wirausaha. Kerja sama kedua institusi didasari pada kesamaan prinsip tentang etika bisnis dan berupaya untuk menerapkan etika tersebut.

"Saya berharap kesamaan prinsip tersebut mampu menjadi fondasi yang kuat bagi kerja sama kedua institusi dan akan terlaksana dengan baik," katanya.

KPK - Etika Bisnis, Saat Moral Jadi Kebutuhan

KPK - Etika Bisnis, Saat Moral Jadi Kebutuhan

Deputi Bidang Pencegahan KPK, Waluyo bercerita di depan peserta workshop Etika Bisnis di Pertamina. Banyak perusahaan yang umurnya puluhan tahun bahkan ratusan tahun dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan pegawainya pun bangga karenanya, pelaksanaan etika bisnis dan Good Corporate Governancenya menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Waluyo menyebut Shell, BP, GE, Johnson and Johnson, sebagai di antara perusahaan yang dimaksud. Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar banyak yang bangkrut atau sekadar ‘mati nggak, hidup pun ogah’ karena penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan etika bisnis tidak konsisten. "Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis," kata Waluyo.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), "Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudah-mudahan pegawai saya membacanya," Waluyo setengah bercanda.

Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. "Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi," katanya.

Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN. Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. "Saya melakukan ini for the best of the company," ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.

Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. "Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain," jelas Waluyo.

Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?

Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.

Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.

Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.

Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).

Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) "dapat" merugikan keuangan/perekonomian negara.

Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.

Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.

Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku. 

Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.

Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!

Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.

Lho, kok, bisa begitu, ya? Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!

Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.

Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.

Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk. Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?

Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).

Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. "Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius," tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?

Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi. Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.

Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.

Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).

Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.

KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.

Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.

Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan.


Kamis, 13 Oktober 2011

II. MORAL DAN EKTIKA DALAM DUNIA BISNIS
                                                                                                       
a. Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang
dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi
daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur"
(borderless) world. Hal ini jelas membuat  semua kegiatan saling berpacu satu sama
lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang

kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk
menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu
dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian
yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan
oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita
khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar
memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan
tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis
kita mampu menciptakan kegiatan bisnis  yang bermoral dan beretika, yang terlihat
perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah
dan pengusaha golongan keatas.  Apakah hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan
budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran
serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama
mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam
kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas
merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi  kedua belah
pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan  dengan jujur dan
konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan
satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling
menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar  terdapat dunia bisnis yang benar-benar
menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu
ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa
diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba
modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD
1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan
pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan
budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang
sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama
akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini
sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu
peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari
diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki
harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu  yang mendorong orang untuk melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign)  yang merupakan kesepakatan
secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan
mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah
tentu harus disepakati oleh orang-orang  yang berada dalam kelompok bisnis serta
kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara  nasional bahkan internasional. Tentu
dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang
transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada  apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait
yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak  akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas
untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian
antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang
mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
antara lain ialah 
1. Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan
diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam
bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan
dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan
tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika
bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan
hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih
kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis
untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand
harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi,
dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. 

3.  Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi
golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya
tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya,
harus terdapat jalinan yang erat antara  pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan
spread effect terhadap perkembangan  sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan
persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan
keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan
dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar 

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan  tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.
Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan  “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang terkait.

8.  Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan
golongan pengusaha kebawah 
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya
(trust) antara golongan pengusaha kuat  dengan golongan pengusaha lemah agar
pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah
besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan
kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah
untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama 
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut.
Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum",
baik pengusaha sendiri maupun pihak  yang lain mencoba untuk melakukan
"kecurangan"  demi kepentingan pribadi,  jelas semua konsep etika bisnis itu akan
"gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan  rasa memiliki terhadap apa yang
telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum
positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini
sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua
pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis
salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.

III. DUNIA BISNIS

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar
tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?
Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan
tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan
berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak
menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat.
Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak
memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan
segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang
tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis seharihari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika
bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum
sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang
ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa
dipisahkan itu membawa serta etika-etika  tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik
etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam
hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat
bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai
negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini
telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera
dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha
terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan  serta perkembangan dibidang ekonomi.
Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak  lain yang terkait begitu kompleks.
Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan
dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan
perhatian yang seimbang.
Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan
dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni
menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional.

Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena
pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang
sangat berharga

*saling menghormati antar pembisnis adalah salah satu etika bisnis untuk memperkuat hubungan berbisnis